Azka Ramli: Pemilu 2024, Generasi Muda Menjadi Lokomotif Pemersatu Bangsa

Jakarta (tempojakarta.com) Demokrasi di Indonesia saat ini mengalami tantangan yang tidak ringan. Pilpres 2019 telah
menanam embrio polarisasi politik akibat kontestasi politik yang antagonis. Polarisasi politik,seperti juga konflik dalam masyarakat adalah sesuatu yang melekat (inhern) dalam proses demokrasi.

Fenomena polarisasi politik akibat perbedaan pilihan politik justru tidak memudar tatkala pemilu sudah usai, sebaliknya tumbuh semakin subur dalam demokrasi di tingkat nasional dan lokal. Insiden Ade Armando adalah ekses paling negatif dari gejala polarisasi politik yang belakangan semakin kuat.(09/05/2022)

Figur Ade yang sangat pro-pemerintah dan seringkali menebar permusuhan terhadap oposisi membuat banyak orang membencinya. Sebetulnya proses penebaran permusuhan juga bukan hanya datang dari kalangan pro-pemerintah, melainkan juga
oposisi sendiri.

Proses saling serang yang difasilitasi media sosial telah dibumbui oleh ujaran kebencian dan pekatnya disinformasi.
Azka Aufary Ramli beranggapan bahwa Pemilu 2024 berpeluang akan terjadi kembali hal-hal yang tidak diinginkan pada proses pesta demokrasi Indonesia,jika polarisasi yang membuahkan kebencian terus dipertahankan.

“Pemilu 2024 memang terancam menjadi politik pasca-kebenaran (Post-Truth) hoaks, disinformation, berita bohong, dan misinformasi, politik identitas, pemanfaatan isu, sara, politik permusuhan (adversarial politics), hate speech, black campaign, politik uang, dan politik
intimidasi.”

Dalam sejarah, kasus-kasus ekstrem karena perbedaan politik seperti di atas selalu berawal dari hal-hal yang jauh lebih kecil. Pada konteks indonesia, itu adalah munculnya istilah-istilah peyoratif untuk kelompok liyan. Para pendukung Prabowo menyebut pendukung Jokowi sebagai “cebong”, sementara di sisi sebaliknya “kampret”.

Dampaknya Indonesia menjadi terbelah dengan terlalu tajam menjadi dua pihak yang mana masing-masing pihak menganggap pihak lainnya adalah semacam lawan yang dibenci.

“Baik Jokowi atau Prabowo secara individu sebenarnya melakukan beberapa hal yang dianggap berusaha meredam polarisasi kian parah. Namun pergerakan di akar rumput tetap liar. Oleh pendukung Prabowo, Jokowi dianggap musuh Islam (juga antek komunis). Sedangkan pendukung Jokowi menuding Prabowo ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama.” Tambah Azka.

Meski rawan akan hal itu, pemilu 2024 tetap memiliki aspek ideal dalam proses berdemokrasi,berawal dari aspek politis yang menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dan penyelenggaraan pemilu dalam membangun kehidupan demokrasi.

Menurut Azka, momentum Pemilu 2024 harusnya menjadi sebuah pesta demokrasi yang lebih dewasa setelah melewati fase-fase pemilu sebelumnya. Azka juga berharap anak muda bisa menjadi pemersatu ditengah ancaman plorasasi yang mengakar.

“Saya berharap momentum politik 2024 menjadi turning point kita sebagai bangsa demokrasi terbesar di dunia yang ideal dan dewasa dalam berpolitik. Bahwasanya perbedaan itu adalah keniscayaan, namun persatuan adalah segala-galanya. Ujar Azka.

“Kita harus belajar dari fenomena politik yang telah terjadi. Jangan lagi ada perpecahan yang justru merugikan anak bangsa. Demografi Indonesia saat ini juga didominasi oleh anak muda,
sehingga saya yakin anak muda bisa menjadi oase untuk pemilu damai nantinya.” Tambah Azka.

Azka juga berharap anak muda bisa menjadi penjahit persatuan Indonesia, khususnya mereka yang telah terjun dalam politik praktis.

“Peran anak muda sangat penting sebagai lokomotif persatuan dan itu telah terbukti sejak dulu.Sehingga, ikhtiar kita ke depan adalah bagaimana membuat perbedaan politik menjadi sebuah temporary saja, selebihnya kita tetap bersatu memajukan bangsa.

Saya mengajak teman-teman
yang aktif di organisasi politik (partai), masyarakat, mahasiswa, dan seluruh lapisan pemuda untuk turut aktif menjaga persatuan di atas segala kepentingan.” Pungkas Azka.(Bbg)

Related posts