Agresi Militer Belanda II terjadi tanggal 19 Desember 1948 diawali dengan tindakan Belanda yang melanggar isi Perjanjian Renville, lalu Belanda menyerang ibu kota Indonesia pada saat itu, yaitu Yogyakarta. Di saat yang sama, pemerintah Indonesia sedang disibukkan menumpas pemberontakan PKI Madiun dan DI/TII di Jawa Barat. Jatuhnya ibu kota negara ke tangan Belanda menyebabkan dibentuknya PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera dibawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara. Setelah Yogyakarta dikuasai oleh Belanda, pihak Belanda melakukan penangkapan terhadap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir selanjutnya diasingkan ke Prapat dan Muntok.
Pada 5 Februari 1949 Ir Soekarno dan Haji Agus Salim dipindahkan ke Muntok, yang pada masa sekarang berada di wilayah Kabupaten Bangka Barat. Berbeda dengan Hatta dan kawan-kawan, Ir Soekarno dan Haji Agus Salim ditempatkan di Pesanggrahan Muntok atau Banka Tin Winning (BTW). Bung Karno dan H Agus Salim yang menjabat Menteri Luar Negeri masa itu dibawa ke Bangka. Sedangkan Sutan Syahrir lebih dahulu dipulangkan ke Jakarta. Sejak menginjak kaki di Bandara Kampung Dul, Bung Karno dan H Agus Salim disambut dengan luar biasa oleh rakyat Bangka. Warga berjejal dipinggir jalan menuju Kota Pangklapinang hingga dibawa ke Muntok berjarak sekitar 160 Km.
Kesaksian H Agus Salim ketika rakyat Bangka menyambut para pendiri bangsa ini bisa dilihat dalam surat pribadinya kepada sang isteri Zainatun Nahar. Surat ini disalin dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, terbitan Sinar Harapan, 1984 yang dikutip dari akun @potretlawas.
Berikut penggalan Surat H Agus Salim kepada isterinya ketika menjalani pengasingan dari Brastagi ke Muntok di Bangka :
“Lain-lain obat pun sangat dicukupkan. Di Berastagi, di Parapat, dan sekarang di Muntok dan Pangkalpinang, pelayan-pelayan selalu sangat ikhlas dan setia kepada kami, lahir dan batin. Waktu ini kediaman kanda yang resmi dalam pesanggrahan Banka Tin Winning di Muntok bersama Bung Karno, Neef Roem dan Mr. AK Pringgodigdo. Penyambutan di Bangka ini dari ujung ke ujungnya bukan main gembiranya, persembahan dari rakyat perkara makan dan pakaian tak putus-putus. Oleh karena itu dengan kiriman pakaian Dinda dari Jogya menjadi sangat berlebihan”.
Belanda memiliki alasan memindahkan Bung Karno dan KH. Agus Salim ke Pulau Bangka untuk bergabung bersama pemimpin republik lainnya. Seno Gumira Ajidarma menulisnya dalam judul Bangka, Sejarah yang Dihidupkan dan Mengilhami (National Geografic Indonesia, Agustus 2016).
Menurut Bung Karno, mereka dipindah karena hampir tiap malam ada usaha pembebasan oleh pemuda saat di Parapat. Lalu penggabungan di Bangka agar pemimpin RI bisa lebih efektif berunding.
Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta pada masa pengasingan Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan KH. Agus Salim tersebut telah dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) kemudian ditunjuk sebagai Kepala Pemerintahan, Sjafroeddin Prawiranegara yang merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Maka Kabinet Hatta sudah berakhir dengan penangkapan Soekarno-Hatta-Sjahrir-H Agus Salim dan dibentuklah Kabinet PDRI.
Melansir Akun Twitter DR. Fadli Zon @fadlizon menjelaskan, sangat tidak mungkin Soekarno Hatta terlibat aktif dalam peristiwa itu (Serangan Umum 1 Maret 1949). Karena kondisinya, dua proklamator tersebut sedang dipenjara (diasingkan) oleh pemerintah belanda.
“Soekarno-Hatta ditawan Belanda tak ada peran dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Tak ada data menyetujui apalagi menggerakkan. Sri Sultan HB IX berperan besar bersama Jend. Soedirman, Letkol Soeharto n tentu di bawah PDRI (emergency government) yang beribukota di Bukittinggi,” paparnya.
“…Negara hampir pecah gara-gara konflik PDRI vs Tracee Bangka. Jenderal Sudirman pun mulanya ‘enggan’ bertemu Soekarno-Hatta untuk rekonsiliasi nasional Juli 1949. Baru setelah dibujuk Pak Harto akhirnya mau bertemu,” tanda Fadli Zon yang merupakan Doktor Bidang Sejarah lulusan UI itu.
sumber: pemudamuslim.org